Nama Anggota Kelompok : Zendeedo Setiawan, Abung Fayshal, Irvan Ardiansyah
Kelas : 2DD01
FAKTOR-FAKTOR YANG MENINGKATKAN
PELUANG SURVIVE PERUSAHAAN KESULITAN KEUANGAN
Khaira Amalia Fachrudin
Staf Pengajar FE USU
PENDAHULUAN
Kesulitan keuangan (financial distress) pada
perusahaan terjadi ketika perusahaan tidak dapat
memenuhi jadwal pembayaran atau ketika proyeksi
arus kas mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut
akan segera tidak dapat memenuhi kewajibannya
(Brigham dan Daves, 2003). Terdapat lime tipe kesulitan keuangan
menurut Brigham dan Gapenski (1997), yaitu
economic failure, business failure, technical
insolvency, insolvency in bankruptcy, dan legal
bankruptcy. Economic failure berarti pendapatan
perusahaan tidak dapat menutupi jumlah biaya,
termasuk biaya modalnya. Business failure terjadi bila
bisnis menghentikan operasi dengan akibat kerugian
ke kreditur. Technical insolvency (equity insolvency
menurut istilah Altman, 1983) adalah ketidakmampuan
memenuhi kewajiban lancar ketika jatuh
tempo, menunjukkan kekurangan likuiditas secara
temporer. Pada kasus ini biasanya kreditur mau
membantu melalui restrukturisasi hutang. Insolvency
in bankruptcy (bankruptcy insolvency menurut istilah
Altman, 1983) tergambar dari nilai buku hutang yang
melebihi nilai pasar aset. Masalah ini bersifat
permanen dan mengarah pada likuidasi bisnis. Legal
bankruptcy adalah bangkrut secara hukum, terjadi bila
telah diajukan tuntutan secara resmi sesuai undang-undang. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan
agar perusahaan kesulitan keuangan dapat bangkit
kembali dan meraih survive. Pertama, mencetak laba.
Laba dapat ditingkatkan dengan menghemat biaya,
misalnya dengan memangkas divisi atau unit bisnis
yang merugi, dan memangkas biaya yang tidak
realisatis. Pada kasus kesulitan keuangan yang tidak
terlalu parah, perbaikan kondisi keuangan dapat
dilakukan dengan meningkatkan pendapatan melalui
penjualan yang didukung oleh usaha-usaha
pemasaran. Analisa pasar perlu dilakukan untuk
memenangkan persaingan. Perusahaan juga perlu
menemukan keunggulan komparatif sebagaimana
yang dilakukan beberapa perusahaan penerbangan di
Indonesia ketika sedang kesulitan.
Kedua, mengubah cash flow menjadi positif,
misalnya dengan restrukturisasi hutang dan
penghematan. Restrukturisasi hutang dapat dilakukan
dengan negosiasi ulang dan penjadwalan kembali
hutang. Jika kreditur memilih kebangkrutan
perusahaan, maka uang mereka tidak akan kembali,
tetapi jika membantu perusahaan, maka perusahaan
(contoh Anteve) dapat melakukan perubahan
manajemen dan perbaikan perusahaan secara total
sehingga uang mereka akan kembali. Gilson (1990)
dalam Parker et al. (2002) membuktikan semasa
kesulitan keuangan, kontrol manajerial dan klaim
terhadap nilai residual perusahaan ditransfer ke
kreditur, biasanya bank.
Pada saat itu, kreditur meningkatkan
representasinya dalam dewan dan kontrol tidak
langsungnya melalui kepemilikan saham. Kreditur
mungkin ingin memaksimalkan pembayaran penuh
jika setelah restrukturisasi perusahaan dapat survive,
atau likuidasi. Di satu sisi mareka ingin klaim, bukan
kepemilikan. Karena itu, mereka tidak selalu
bertindak untuk kepentingan terbaik perusahaan. Tapi
di sisi lain, orang dapat berargumen bahwa kontrol
kreditur dapat dihubungkan dengan meningkatnya
kemungkinan survive perusahaan. Sebagai contoh,
restrukturisasi hutang sering mencakup modifikasi
perjanjian hutang sebagai upaya agar perusahaan tetap
berjalan sehingga akhirnya dapat membayar
kewajibannya (Parker et al., 2002).
Ketiga, memperbaiki kinerja dengan
melakukan perbaikan ke arah yang positif, misalnya
dengan merespon keinginan pelanggan. Tindakan ini
juga berguna untuk mengembalikan kepercayaan
pelanggan. Keempat, membangun budaya positif.
Membangun budaya baru dapat dilakukan dengan
regenerasi pimpinan yang memiliki highly motivated.
Kelima, mendapatkan pinjaman berbiaya rendah.
Keenam, membangun kepercayaan - antara lain
kepercayaan karyawan, pemegang saham, pelanggan,
dan masyarakat umum. Kepercayaan akan future
value yang baik pada perusahaan Gillette telah
meyakinkan tim manajemen eksekutif untuk samasama
berjuang dan meyakinkan ribuan investor
sehingga saham mayoritas gagal diambil alih orangorang
yang hanya akan mengambil keuntungan
pribadi (Sembel, 2003).
Ketujuh, menyusun kekuatan. Mengumpulkan
orang-orang terbaik dan mengurangi orang yang tidak
tepat akan menghasilkan kekuatan inti yang akan
memodifikasi atau membuat perubahan radikal
(Sembel, 2003).
Dalam krisis, peran pemimpin sangat
diharapkan. Pemimpin tidak boleh menganggap krisis
sebagai halangan, melainkan sarana pembaharuan.
Ancaman (threats) dapat digali menjadi peluang
(opportunities). Pemimpin perlu mengoptimalkan
kehadirannya dalam perusahaan, dan membina diri
secara cepat agar dapat melaksanakan multi peran,
baik sebagai pemikir, pelaksana, pengawas, maupun
penasehat perusahaan (Susanto, 1999).
Insider turnover atau turnover manajemen
dan direktur atau pemimpin dapat dipandang sebagai
peningkatan harapan pengembalian (return) untuk
pemegang saham perusahaan yang kesulitan. Dengan
mengandaikan bahwa kesulitan keuangan adalah hasil
dari buruknya keputusan yang difasilitasi governance
yang buruk kehadiran pejabat berupa manajer dan
direktur baru akan menghambat kemampuan
pemulihan diri perusahaan. Turnover manajer dan
direktur (khususnya kemasukan pihak luar yang tidak
mempunyai investasi pada proyek yang gagal dan
strategis) mungkin memfasilitasi alokasi kembali
sumber daya ekonomi perusahaan (Wruck, 1990).
Literatur mengenai peran executive turnover
telah menghasilkan 2 teori succession (penggantian,
suksesi) yang saling bersaing. Menurut teori
succession-crisis, penggantian eksekutif mengganggu
kinerja organisasi karena hal tersebut menambah
ketidakpastian dan konflik, dan menurunkan semangat
anggota organisasi. Sedemikian, turnover diharapkan
menguatkan “downward spiral” yang dipacu dengan
munculnya masalah kinerja (Hambrick dan D’Aveni,
1988). Dalam situasi kesulitan keuangan direktur
utama menghadapi tugas yang lebih besar. Terutama
masalah arus kas untuk operasi yang masih berlanjut
serta melakukan perundingan restrukturisasi hutang
dengan kreditur. Masalah ini dan juga masalah
ketidakpastian serta reputasi mungkin akan
membuatnya berfikir untuk mengundurkan diri. Ini
menarik untuk dicermati.
Penggantian manajemen puncak (CEO) sering
pula dilakukan perusahaan yang sedang recover
(memulihkan diri) dari kesulitan agar dapat survive.
Alasannya manajer baru meniupkan wawasan baru
untuk situasi perubahan, memudahkan tindakan drastis seperti pemotongan anggaran untuk programprogram
yang sudah ditetapkan (Pearce dan Robinson,
2003).
CEO atau direktur utama yang baru, sebagai
agen perubahan, akan memasuki organisasi dengan
amanat yang tepat. Tetapi, direktur utama baru
umumnya kurang mengetahui dengan jelas tentang
kontrak dan prosedur untuk diperlukan untuk
melakukan pekerjaannya dengan sukses, dan
pengetahuan-pengetahuan tersebut harus berangsurangsur
diperoleh terus menerus (Boeker, 1997;
Hambrick and Fukotomi, 1991). Karena itu,
keberadaan TMT yang sudah lama menjabat,
menguasai, dan mempunyai akses pada jaringan yang
sudah mantap sepatutnya menjadi nilai ganda dalam
membantu CEO dalam progress melalui proses yang
kacau (disruptive).
Dalam kasus kesulitan keuangan yang parah,
perusahaan dapat menjadi bangkrut atau kehilangan
independensi melalui merger. Namun tidak tertutup
kemungkinan untuk kembali survive bila strategi yang
digunakan tepat. Perusahaan dikatakan telah pulih dari
kesulitan keuangan bila arus kas lebih besar dari
hutang jangka panjang yang jatuh tempo pada tahun
setelah serangan kesulitan keuangan terjadi Whittaker
(1999).
Kahl (2001) menguraikan tanda perusahaan
yang kembali survive sebagai perusahaan independen
sebagai berikut: tidak dalam Chapter 11 (undangundang
di Amerika yang mengatur kesulitan keuangan
perusahaan), tidak dalam kegagalan, tidak dalam
proses negosiasi restrukturisasi hutang guna
menghindari kegagalan. Untuk dikualifikasi sebagai
tahun keluar, satu dari dua kriteria tambahan
dilakukan. Pertama, melihat tanda-tanda dalam artikel
Dow Jones Interactive dan Lexis/Nexis yang
menunjukkan apakah perusahaan secara jelas telah
keluar dari kesulitan keuangan. Ini dipertimbangkan
dalam kasus jika, misalnya, perusahaan membayar
dividen atau menambah dana dalam bentuk hutang
atau memasarkan ekuitas. Jika tidak ditemukan bukti
yang jelas apakah perusahaan telah keluar dari
kesulitan keuangan, digunakan kriteria formal untuk
menentukan apakah perusahaan masih tetap dalam
kesulitan atau tidak. Sebuah perusahaan dikatakan
telah keluar dari kesulitan keuangan jika mempunyai
interest coverage di atas satu sekurang-kurangnya
dalam satu tahun dan ada tambahan, bahwa harus
terpenuhi salah satu dari kriteria-kriteria berikut: book
leverage ratio telah berkurang minimal 15 basis point
relative terhadap serangan kesulitan atau memiliki
rasio leverage yang lebih rendah dari rata-rata
perusahaan dalam 2 digit SIC industry code. Sebanyak 30 perusahaan manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek
Indonesia) mengalami kesulitan keuangan yang agak
parah akibat krisis 1997 (Lampiran 1). Perusahaanperusahaan
tersebut mengalami kesulitan dengan tipe
bankruptcy insolvency, yaitu nilai buku hutang
melebihi nilai pasar aset, dan hal tersebut terjadi
selama tiga tahun atau lebih pada kurun waktu yang
berbeda-beda untuk setiap perusahaan. Kesulitan
keuangan tersebut terjadi akibat perusahaan banyak
berhutang dalam mata uang asing sehingga ketika
krisis 1997 melanda jumlah hutang tersebut
meningkat (Fachrudin, 2007). Perusahaan-perusahaan
ini juga telah mengalami kerugian negatif selama tiga
tahun atau lebih serta mengalami kegagalan hutang
sehingga merestrukturisasi hutangnya kepada para
kreditur. Sampai akhir tahun 2005, sebanyak 53,33%
dari perusahaan tersebut dapat survive sebagai
perusahaan independen, sedangkan sisanya belum
survive dan bahkan ada yang telah didelisting dari
BEJ.
Penelitian ini hendak melihat faktor yang
menyebabkan perusahaan - perusahaan tersebut dapat
kembali survive. Estimasi probabilitas survive
perusahaan kesulitan keuangan dilakukan Kahl (2002)
dengan menelusuri data perusahaan saat terserang
kesulitan sampai beberapa tahun kemudian, ada yang
survive dan ada yang tetap kesulitan dengan regresi
probit. Sedangkan Parker et al. (2002) meneliti
kemungkinan hidup perusahaan kesulitan keuangan
dengan menelusuri data perusahaan dari saat survive
sampai kesulitan dengan cox proportional hazard
regression. Penelitian ini tidak mengadopsi metode
Parker et al. (2002) karena penelitian mereka
menggunakan data 8 tahun sebelum kesulitan
sehingga bila diaplikasikan pada penelitian ini harus
dipakai data tahun 1989 – 1997 yang tentu saja tidak
up to date diteliti sekarang. Karena itu diadopsi
metode Kahl (2002) dan variabelnya yang berupa
pulangan aset (return on assets), dan konversi
kewajiban menjadi ekuitas (creditor equity stake);
selain itu diadopsi variabel pergantian direktur utama
dari Parker et al. (2002); dan ditambah lagi dengan
variabel umur perusahaan. Umur perusahaan diteliti
Chancharat (2007) dalam meneliti probabilitas survive
perusahaan kesulitan keuangan. Tetapi, umur
perusahaan tersebut kurang signifikan dalam
menjelaskan probabilitas survive. Padahal umur
perusahaan termasuk dalam faktor-faktor yang
mempengaruhi kegagalan perusahaan selain ukuran,
HASIL
Estimasi probabilitas survive yang dilakukan
terhadap 30 perusahaan kesulitan keuangan dengan
tipe bankruptcy insolvency (Lampiran 1) dengan
pengamatan terakhir tahun 2005, menemukan bahwa
terdapat 16 perusahaan FD yang survive, sedangkan
14 perusahaan lainnya belum survive.
Mean dari variabel independen yang
digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Mean Indikator Keuangan, Karakteristik Tata
Kelola Perusahaan, dan Length Perusahaan FD
yang Survive dan yang belum Survive pada Masa
Kesulitan Keuangan
IndikatorKeuangan | Mean pada Perusahaan | ||
Survive | Belum |
| |
|
| Survive |
|
x1 | 0,00 | -0,04 |
|
x2 | 0,50 | 0,64 |
|
x3 | 28,75 | 25,07 |
|
x4 | 0,88 | 0,14 |
|
Jumlah observasi (n) | 16 | 14 |
|
Variabel Independen | B | Exp(B) |
| ||
Constant x1 x2 x3 x4 | -5,174 (0,083) 73,113 (0,057) 2,759 (0,243) -0,046 (0,703) 10,277 (0,046) | 0,006 5,66E+31 15,787 0,955 29056,689 |
| ||
n Hosmer and Lemeshow Nagelkerke R Square -2LL Percentage Correct | 30 0,764 0,815 28,264 96,7 | ||||
Angka dalam kurung menunjukkan signifikansi, tanda * menunjukkan signifikan pada alpha 0,1 Variabel dependen adalah variabel dummy status perusahaan yang bernilai 1 jika perusahaan kesulitan keuangan telah survive, 0 selainnya. Variabel independen adalah : x1 = Rata-rata dari : laba usaha / jumlah aset saat kesulitan keuangan dengan tipe bankruptcy insolvency sampai setahun sebelum survive. x2 = jumlah pergantian direktur selama masa kesulitan keuangan x3 = umur perusahaan x4 = creditor equity stake, 1 jika perusahaan melakukan creditor equity stake, 0 selainnya | |||||
|
|
| |||
Nilai Hosmer and Lemeshow goodness of fit
test statistics menunjukkan probabilitas signifikansi
0,764 - lebih besar dari 0,05 - menunjukkan model
dapat diterima karena cocok dengan data observasinya
dan dapat dipakai untuk analisis selanjutnya.
Nagelkerke R Square 0,815 menunjukkan bahwa
variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan
oleh variabilitas variabel independen adalah 81,5%.
Angka -2LL sebesar 28,264 menunjukkan model fit
karena penurunan tersebut lebih besar dari penurunan
df dengan alpha 10% sesuai tabel critical values of chi
square (x2), yaitu 7,78. Ketepatan klasifikasi
menunjukkan angka 96,7%.
Penelitian ini menunjukkan bahwa peluang
survive berkaitan dengan rata-rata dari rasio
pendapatan usaha terhadap jumlah aset dari saat
kesulitan keuangan dengan tipe bankruptcy insolvency
sampai setahun sebelum survive dan creditor equity
stake. Variabel pergantian direktur utama selama
kesulitan keuangan dan umur perusahaan tidak
berpengaruh untuk meningkatkan peluang survive.
PEMBAHASAN
Kinerja yang diukur dengan rata-rata dari
pendapatan usaha terhadap jumlah aset (x1) signifikan
(pada alpha 0,1) mempengaruhi peluang survive
perusahaan kesulitan. Dari nilai koefisiennya yang
positif dapat disimpulkan bahwa semakin baik kinerja
semasa kesulitan keuangan, semakin besar peluang
perusahaan untuk survive. Hal ini sesuai dengan
temuan Fachrudin (2007).
Odds ratio atau Exp (B) menunjukkan bahwa
cateris paribus, setiap kenaikan 1 unit x2 akan
meningkatkan peluang survive yang sangat besar. Hal
ini berarti probabilitas survive adalah 100% bila x2
meningkat 1 unit. Misalnya bila selama masa
kesulitan perusahaan dapat meningkatkan pendapatan
usaha sebanyak dua kali lipat, maka perusahaan
tersebut pasti akan survive. Hal ini agak susah
terwujud karena pada saat tidak kesulitan pun hal ini
jarang tercapai, apalagi saat kesulitan.
Pergantian direktur utama selama kesulitan
(x2) tidak signifikan mempengaruhi peluang survive
perusahaan kesulitan. Pergantian direktur utama agak
jarang dilakukan. Rata-rata x2 perusahaan survive
adalah 0,50 sedangkan pada perusahaan yang belum
survive adalah 0,64. Berarti selama masa kesulitan,
secara rata-rata jumlah pergantian direktur utama
tidak sampai 1 kali.
Hal ini tampak sesuai dengan teori succession
crisis yang mengatakan bahwa pergantian eksekutif
mengganggu kinerja organisasi karena menambah
ketidakpastian dan konflik, serta menurunkan
semangat anggota organisasi (Hambrick dan D’Aveni,
1988). Juga sesuai dengan Wruck (1990) bahwa
manajer yang sudah lama menjabat umumnya
memahami operasi perusahaan secara detail. Gibson
(2003) yang meneliti 1200 perusahaan dalam 8
emerging market menemukan dua hasil utama.
Pertama, CEO di perusahaan emerging market lebih
mungkin kehilangan pekerjaannya pada saat kinerja
perusahaan memburuk, ini menunjukkan tata kelola
perusahaan sudah efektif di emerging market. Kedua,
khusus untuk perusahaan dengan kepemilikan lokal
yang besar, tidak ada hubungan antara CEO turnover
dan kinerja perusahaan, ini menunjukkan tata kelola
perusahaan kelihatan tidak efektif. Bila alasan Gibson
ini diterapkan di sini maka berarti perusahaan
kesulitan keuangan yang memang memiliki kinerja
buruk dan tidak signifikan pergantian direktur
utamanya menunjukkan indikasi tata kelola yang tidak
efektif. Padahal, bila dicermati lebih jauh ternyata ada
pembatasan yang dibuat kreditur sehubungan dengan
perjanjian kredit. Perjanjian kredit umumnya
mensyaratkan perusahaan, antara lain, untuk terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari bank untuk
membagikan dividen, melakukan konsolidasi atau
penggabungan usaha, menjual atau menerbitkan
saham kepada pihak ketiga, menjual atau
menyewakan aktiva, mengubah anggaran dasar dan
susunan pengurus, direksi dan komisaris perusahaan.
Dari 30 perusahaan kesulitan yang diamati dalam
kurun waktu 1995 - 2005 ini diperoleh fakta bahwa 17
perusahaan (57%) mempunyai perjanjian kredit yang
mensyaratkan persetujuan dari pihak bank untuk
merubah struktur manajemennya. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa dalam konteks insolvency,
governance ditujukan untuk memaksimalkan
keuntungan bagi kreditur. Masalahnya bukan sematamata
nilai likuidasi atau nilai going concern. Tapi
bagaimana perusahaan melanjutkan usaha selama
periode terbatas. Perusahaan berpeluang melakukan
negosiasi dengan kreditur. Pada periode interim ini,
governance perusahaan menjadi sangat penting,
karena kreditur memerlukan kepercayaan akan
kemampuan pengambil keputusan perusahaan untuk
merencanakan strategi going forward. Sebagai
tambahan, kreditur memerlukan jaminan mengenai
kesediaan dan kemampuan manajemen korporat untuk
melindungi aset yang tersisa untuk sementara waktu
sehingga tidak mengurangi kemampuan recovery
kreditur (Davis, 2003).
Umur (x3) perusahaan tidak signifikan
mempengaruhi peluang survive perusahaan kesulitan.
Hal ini menunjukkan bahwa survive atau tidaknya suatu perusahaan tidak bergantung pada usianya.
Pengalaman mengelola perusahaan tidak signifikan
berhubungan dengan kinerja perusahaan selama
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 1 - 9
6
survive (korelasi menunjukkan angka -0,118 dan tidak
signifikan). Temuan ini sejalan dengan Chancharat et
al. (2007).
Creditor equity stake berpeluang
meningkatkan kemungkinan survive perusahaan
kesulitan keuangan. Hal ini sesuai dengan Kahl
(2001) dan Fachrudin (2007). Menurut Kahl (2001),
pada prinsipnya ada dua cara bagi perusahaan untuk
menanggulangi kesulitan keuangan, yaitu
meningkatkan kinerja operasi atau melalui
pengurangan beban bunga (atau kombinasi keduanya).
Pengurangan beban bunga bahkan juga hutang
perusahaan karena ditukar dengan kepemilikan
terbukti mengeluarkan perusahaan dari kesulitan pada
penelitian ini.
Walaupun hasil penelitian menunjukkan
creditor equity stake berpeluang terhadap
kemungkinan survive, namun ada segelintir
perusahaan yang dapat survive tanpa equity stake.
Misalnya SOBI, dengan bantuan penasihat keuangan
dari Singapura dan Satuan Tugas Prakarsa Jakarta,
berhasil merestrukturisasi sehingga ada pengurangan
hutang pokok, transaksi forward dan derivatif. Laba
restrukturisasi berjumlah Rp.1.813.068.602.000.
Sedangkan IMAS mengalihkan hutangnya ke keluarga
Salim dan ditukar dengan obligasi konversi yang
kelak dapat ditukar jadi saham juga, serta menjual
kepemilikan sahamnya kepada pihak lain.
Sebaliknya, ada pula perusahaan kesulitan
keuangan yang walaupun sudah melakukan creditor
equity stake namun belum survive sampai akhir tahun
2005, yaitu SUDI dan SIPD. SUDI hanya
memperoleh sedikit saham dari creditor equity stake
yang dilakukan sehingga tidak memadai untuk
menjadikan ekuitas menjadi positif. SIPD melakukan
creditor equity stake sampai ekuitas menjadi positif
tahun 2001, namun sampai tahun 2005 pendapatan
bersih tetap negatif dan interest coverage ratio masih
di bawah satu karena beban usaha dan beban lain-lain
cukup besar.
KESIMPULAN
Survival secara positif dipengaruhi oleh
kinerja operasi. Satu-satunya faktor lain yang secara
sistematis meningkatkan peluang survive perusahaan
adalah kebersediaan kreditur untuk melakukan
konversi hutang menjadi ekuitas perusahaan. Hampir
semua konversi hutang menjadi ekuitas pada 53,33%
perusahaan kesulitan keuangan dilakukan oleh
kreditur asing.
Perusahaan kesulitan keuangan dapat survive
dengan suntikan modal kreditur asing. Artinya
sebahagian besar kepemilikan jatuh ke tangan asing.
Perusahaan kesulitan keuangan memang memerlukan
dana tambahan. Modal pemerintah tidak mungkin
diharapkan karena pemerintah masih harus
membenahi masalah-masalah lain seperti kemiskinan,
pendidikan, dan pemberantasan korupsi.
SARAN
Kesulitan keuangan perusahaan yang
diobservasi ini disebabkan oleh membengkaknya
pinjaman dalam mata uang asing akibat krisis 1997.
Sebaiknya perusahaan melakukan lindung nilai untuk
hutang dalam mata uang asing.
Perusahaan kesulitan keuangan memerlukan
mediasi untuk menegosiasikan hutangnya dengan
pihak kreditur. Sebaiknya dalam proses negosiasi
dihindarkan kemungkinan bahwa hutang tersebut
berpindah ke kreditur asing dan atau hutang tersebut
dikonversi menjadi ekuitas pihak asing. Pemerintah,
melalui lembaga yang ditunjuk, perlu menjadi mediasi
negosiasi yang handal.
DAFTAR PUSTAKA
Altman, Edward I. 1983. Corporation Financial
Distress – A Complete Guide to Predicting,
Avoiding, and Dealing with Bankruptcy. John
Wiley & Sons. New York. p. 1-7
Anonym a. Industry – Relative Ratios Revisited: The
Case of Financial Distress.
www.fma.org/neworleans/Papers. February,
20, 2006.
Asterbo, Thomas and Joachim K. Winter, 2002.
More than a Dummy: The Probability of
Failure, Survival and Acquisition of Firms in
Financial Distress.
Brigham, Eugene G and Louis C. Gapenski. 1997.
Financial Management – Theory and Practice.
The Dryden Press. Eight Edition. p. 1034 –
1067.
Brigham, Eugene F and Phillip R. Daves. 2003.
Intermediate Financial Management. Eight
Edition. Thomson. South-Western. p.837-
859.
Chancharat, Nongnit., et al. 2007. Firm in Financial
Distress, a Survival Model Analysis. Paper.
20th bAustralasian Finance & Banking
Conference. August 20, 2007.
Khaira Amalia Fachrudin Faktor-Faktor yang Meningkatkan Peluang Survive…
7
Cross, Lisa. 2003. Tools for a Company Turnaround.
Graphic Arts Monthly. August. p. 36-38.
Deng, Xiaolan and Zongjun Wang, 2006. Ownership
Structure and Financial Distress: Evidence
from Public Listed Companies in China.
International Journal of Management. 23(3):
486-502
Elloumi, Fathi and Jean-Pierre Gueyie, 2001.
Financial Distress and Corporate Governance:
an Empirical Analysis. Corporate
Governance. Bradford: 1 (1): 15 - 23.
Fachrudin, Khaira Amalia. 2007. Analisis Kesulitan
Keuangan Perusahaan – Studi pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di
Bursa Efek Jakarta Tahun 1995-2005.
Disertasi. Program Pascasarjana Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang.
Garson, G. David. 2005. Binary Logistic Regression.
PA 765 Statnotes: An Online Textbook.
www.David_Garson@ncsu.edu.
Guner, Gursoy, 2004. Changing Corporate
Ownership in the Turkish Market. Journal of
Transnational Management Development.
10(2): 33 Abstract
Kahl, Matthias, 2002. Economic Distress, Financial
Distress, and Dynamic Liquidation. Journal
of Finance. LVII (1): 135 – 145.
Kahl, Matthias, 2001. Financial Distress as a
Selection Mechanism: Evidence from the
United States. Paper.
Laitinen, Erkki K, 2005. Survival Analysis and
Financial Distress Prediction: Finnish
Evidence. Review of Accounting & Finance
4(4): 76-91.
NetTel Africa. Network for Capacity Building
and Knowledge Exchange in ICT Policy,
Regulation, and Application. 2004.
http://www.cbdd.wsu.edu/kewlcontent/
cdoutput/TR505r/page40.htm. 2 Januari
2002.
Ohlson, James A, 1980. Financial Ratios and the
Probabilistic Prediction of Bankruptcy.
Journal of Accounting Research. 18(1): 109-
131
Parker, Susan, Gary F. Peters, dan Howard F.
Turetsky, 2002. Corporate Governance and
Corporate Failure: A Survival Analysis.
Corporate Governance. Bradford: 2 (2): 4-9.
Parker, Susan, Gary F. Peters, dan Howard F.
Turetsky, 2005. Corporate Governance
Factors and Auditor Going Concern
Assessments: 4 (3): 5-30.
Pearce and Robinson. 2003. Management Strategic.
Eight Edition. McGraw-Hill Education. New
York. p. 155 – 182.
Sembel, Roy dan Sandra Sembel. 2003. Keluar dari
Masa Sulit: Strategi Menyelamatkan
Perusahaan Sakit. Sinar Harapan
Susanto, A.B; 1999. Survival Management:
Implementasi Quantum Leadership dalam
manajemen krisis. Usahawan no.09 thn
xxviii. Sept 09.
Turetsky, Howard F. and Ruth Ann McEwen, 2001.
An Empirical Investigation of Firm
Longevity: a Model of the Ex Ante Predictors
of Financial Distress. Review of Quantitative
Finance and Accounting. 16. p.323-323.
dari jurnal diatas kita bisa melihat bahwa metode yang digunakan adalah studi pustaka dalam menyusun jurnal ini dimana diambil 30 perusahaan dari BEJ sebagai sampel penelitian untuk masalah pembahasan krisis keuangan