Sunday, May 15, 2011

TUGAS AKHIR MANAJEMEN KEUANGAN

Nama Anggota Kelompok : Zendeedo Setiawan, Abung Fayshal, Irvan Ardiansyah

Kelas : 2DD01



FAKTOR-FAKTOR YANG MENINGKATKAN

PELUANG SURVIVE PERUSAHAAN KESULITAN KEUANGAN

Khaira Amalia Fachrudin

Staf Pengajar FE USU

PENDAHULUAN

Kesulitan keuangan (financial distress) pada

perusahaan terjadi ketika perusahaan tidak dapat

memenuhi jadwal pembayaran atau ketika proyeksi

arus kas mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut

akan segera tidak dapat memenuhi kewajibannya

(Brigham dan Daves, 2003). Terdapat lime tipe kesulitan keuangan

menurut Brigham dan Gapenski (1997), yaitu

economic failure, business failure, technical

insolvency, insolvency in bankruptcy, dan legal

bankruptcy. Economic failure berarti pendapatan

perusahaan tidak dapat menutupi jumlah biaya,

termasuk biaya modalnya. Business failure terjadi bila

bisnis menghentikan operasi dengan akibat kerugian

ke kreditur. Technical insolvency (equity insolvency

menurut istilah Altman, 1983) adalah ketidakmampuan

memenuhi kewajiban lancar ketika jatuh

tempo, menunjukkan kekurangan likuiditas secara

temporer. Pada kasus ini biasanya kreditur mau

membantu melalui restrukturisasi hutang. Insolvency

in bankruptcy (bankruptcy insolvency menurut istilah

Altman, 1983) tergambar dari nilai buku hutang yang

melebihi nilai pasar aset. Masalah ini bersifat

permanen dan mengarah pada likuidasi bisnis. Legal

bankruptcy adalah bangkrut secara hukum, terjadi bila

telah diajukan tuntutan secara resmi sesuai undang-undang. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan

agar perusahaan kesulitan keuangan dapat bangkit

kembali dan meraih survive. Pertama, mencetak laba.

Laba dapat ditingkatkan dengan menghemat biaya,

misalnya dengan memangkas divisi atau unit bisnis

yang merugi, dan memangkas biaya yang tidak

realisatis. Pada kasus kesulitan keuangan yang tidak

terlalu parah, perbaikan kondisi keuangan dapat

dilakukan dengan meningkatkan pendapatan melalui

penjualan yang didukung oleh usaha-usaha

pemasaran. Analisa pasar perlu dilakukan untuk

memenangkan persaingan. Perusahaan juga perlu

menemukan keunggulan komparatif sebagaimana

yang dilakukan beberapa perusahaan penerbangan di

Indonesia ketika sedang kesulitan.

Kedua, mengubah cash flow menjadi positif,

misalnya dengan restrukturisasi hutang dan

penghematan. Restrukturisasi hutang dapat dilakukan

dengan negosiasi ulang dan penjadwalan kembali

hutang. Jika kreditur memilih kebangkrutan

perusahaan, maka uang mereka tidak akan kembali,

tetapi jika membantu perusahaan, maka perusahaan

(contoh Anteve) dapat melakukan perubahan

manajemen dan perbaikan perusahaan secara total

sehingga uang mereka akan kembali. Gilson (1990)

dalam Parker et al. (2002) membuktikan semasa

kesulitan keuangan, kontrol manajerial dan klaim

terhadap nilai residual perusahaan ditransfer ke

kreditur, biasanya bank.

Pada saat itu, kreditur meningkatkan

representasinya dalam dewan dan kontrol tidak

langsungnya melalui kepemilikan saham. Kreditur

mungkin ingin memaksimalkan pembayaran penuh

jika setelah restrukturisasi perusahaan dapat survive,

atau likuidasi. Di satu sisi mareka ingin klaim, bukan

kepemilikan. Karena itu, mereka tidak selalu

bertindak untuk kepentingan terbaik perusahaan. Tapi

di sisi lain, orang dapat berargumen bahwa kontrol

kreditur dapat dihubungkan dengan meningkatnya

kemungkinan survive perusahaan. Sebagai contoh,

restrukturisasi hutang sering mencakup modifikasi

perjanjian hutang sebagai upaya agar perusahaan tetap

berjalan sehingga akhirnya dapat membayar

kewajibannya (Parker et al., 2002).

Ketiga, memperbaiki kinerja dengan

melakukan perbaikan ke arah yang positif, misalnya

dengan merespon keinginan pelanggan. Tindakan ini

juga berguna untuk mengembalikan kepercayaan

pelanggan. Keempat, membangun budaya positif.

Membangun budaya baru dapat dilakukan dengan

regenerasi pimpinan yang memiliki highly motivated.

Kelima, mendapatkan pinjaman berbiaya rendah.

Keenam, membangun kepercayaan - antara lain

kepercayaan karyawan, pemegang saham, pelanggan,

dan masyarakat umum. Kepercayaan akan future

value yang baik pada perusahaan Gillette telah

meyakinkan tim manajemen eksekutif untuk samasama

berjuang dan meyakinkan ribuan investor

sehingga saham mayoritas gagal diambil alih orangorang

yang hanya akan mengambil keuntungan

pribadi (Sembel, 2003).

Ketujuh, menyusun kekuatan. Mengumpulkan

orang-orang terbaik dan mengurangi orang yang tidak

tepat akan menghasilkan kekuatan inti yang akan

memodifikasi atau membuat perubahan radikal

(Sembel, 2003).

Dalam krisis, peran pemimpin sangat

diharapkan. Pemimpin tidak boleh menganggap krisis

sebagai halangan, melainkan sarana pembaharuan.

Ancaman (threats) dapat digali menjadi peluang

(opportunities). Pemimpin perlu mengoptimalkan

kehadirannya dalam perusahaan, dan membina diri

secara cepat agar dapat melaksanakan multi peran,

baik sebagai pemikir, pelaksana, pengawas, maupun

penasehat perusahaan (Susanto, 1999).

Insider turnover atau turnover manajemen

dan direktur atau pemimpin dapat dipandang sebagai

peningkatan harapan pengembalian (return) untuk

pemegang saham perusahaan yang kesulitan. Dengan

mengandaikan bahwa kesulitan keuangan adalah hasil

dari buruknya keputusan yang difasilitasi governance

yang buruk kehadiran pejabat berupa manajer dan

direktur baru akan menghambat kemampuan

pemulihan diri perusahaan. Turnover manajer dan

direktur (khususnya kemasukan pihak luar yang tidak

mempunyai investasi pada proyek yang gagal dan

strategis) mungkin memfasilitasi alokasi kembali

sumber daya ekonomi perusahaan (Wruck, 1990).

Literatur mengenai peran executive turnover

telah menghasilkan 2 teori succession (penggantian,

suksesi) yang saling bersaing. Menurut teori

succession-crisis, penggantian eksekutif mengganggu

kinerja organisasi karena hal tersebut menambah

ketidakpastian dan konflik, dan menurunkan semangat

anggota organisasi. Sedemikian, turnover diharapkan

menguatkan “downward spiral” yang dipacu dengan

munculnya masalah kinerja (Hambrick dan D’Aveni,

1988). Dalam situasi kesulitan keuangan direktur

utama menghadapi tugas yang lebih besar. Terutama

masalah arus kas untuk operasi yang masih berlanjut

serta melakukan perundingan restrukturisasi hutang

dengan kreditur. Masalah ini dan juga masalah

ketidakpastian serta reputasi mungkin akan

membuatnya berfikir untuk mengundurkan diri. Ini

menarik untuk dicermati.

Penggantian manajemen puncak (CEO) sering

pula dilakukan perusahaan yang sedang recover

(memulihkan diri) dari kesulitan agar dapat survive.

Alasannya manajer baru meniupkan wawasan baru

untuk situasi perubahan, memudahkan tindakan drastis seperti pemotongan anggaran untuk programprogram

yang sudah ditetapkan (Pearce dan Robinson,

2003).

CEO atau direktur utama yang baru, sebagai

agen perubahan, akan memasuki organisasi dengan

amanat yang tepat. Tetapi, direktur utama baru

umumnya kurang mengetahui dengan jelas tentang

kontrak dan prosedur untuk diperlukan untuk

melakukan pekerjaannya dengan sukses, dan

pengetahuan-pengetahuan tersebut harus berangsurangsur

diperoleh terus menerus (Boeker, 1997;

Hambrick and Fukotomi, 1991). Karena itu,

keberadaan TMT yang sudah lama menjabat,

menguasai, dan mempunyai akses pada jaringan yang

sudah mantap sepatutnya menjadi nilai ganda dalam

membantu CEO dalam progress melalui proses yang

kacau (disruptive).

Dalam kasus kesulitan keuangan yang parah,

perusahaan dapat menjadi bangkrut atau kehilangan

independensi melalui merger. Namun tidak tertutup

kemungkinan untuk kembali survive bila strategi yang

digunakan tepat. Perusahaan dikatakan telah pulih dari

kesulitan keuangan bila arus kas lebih besar dari

hutang jangka panjang yang jatuh tempo pada tahun

setelah serangan kesulitan keuangan terjadi Whittaker

(1999).

Kahl (2001) menguraikan tanda perusahaan

yang kembali survive sebagai perusahaan independen

sebagai berikut: tidak dalam Chapter 11 (undangundang

di Amerika yang mengatur kesulitan keuangan

perusahaan), tidak dalam kegagalan, tidak dalam

proses negosiasi restrukturisasi hutang guna

menghindari kegagalan. Untuk dikualifikasi sebagai

tahun keluar, satu dari dua kriteria tambahan

dilakukan. Pertama, melihat tanda-tanda dalam artikel

Dow Jones Interactive dan Lexis/Nexis yang

menunjukkan apakah perusahaan secara jelas telah

keluar dari kesulitan keuangan. Ini dipertimbangkan

dalam kasus jika, misalnya, perusahaan membayar

dividen atau menambah dana dalam bentuk hutang

atau memasarkan ekuitas. Jika tidak ditemukan bukti

yang jelas apakah perusahaan telah keluar dari

kesulitan keuangan, digunakan kriteria formal untuk

menentukan apakah perusahaan masih tetap dalam

kesulitan atau tidak. Sebuah perusahaan dikatakan

telah keluar dari kesulitan keuangan jika mempunyai

interest coverage di atas satu sekurang-kurangnya

dalam satu tahun dan ada tambahan, bahwa harus

terpenuhi salah satu dari kriteria-kriteria berikut: book

leverage ratio telah berkurang minimal 15 basis point

relative terhadap serangan kesulitan atau memiliki

rasio leverage yang lebih rendah dari rata-rata

perusahaan dalam 2 digit SIC industry code. Sebanyak 30 perusahaan manufaktur yang

terdaftar di Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek

Indonesia) mengalami kesulitan keuangan yang agak

parah akibat krisis 1997 (Lampiran 1). Perusahaanperusahaan

tersebut mengalami kesulitan dengan tipe

bankruptcy insolvency, yaitu nilai buku hutang

melebihi nilai pasar aset, dan hal tersebut terjadi

selama tiga tahun atau lebih pada kurun waktu yang

berbeda-beda untuk setiap perusahaan. Kesulitan

keuangan tersebut terjadi akibat perusahaan banyak

berhutang dalam mata uang asing sehingga ketika

krisis 1997 melanda jumlah hutang tersebut

meningkat (Fachrudin, 2007). Perusahaan-perusahaan

ini juga telah mengalami kerugian negatif selama tiga

tahun atau lebih serta mengalami kegagalan hutang

sehingga merestrukturisasi hutangnya kepada para

kreditur. Sampai akhir tahun 2005, sebanyak 53,33%

dari perusahaan tersebut dapat survive sebagai

perusahaan independen, sedangkan sisanya belum

survive dan bahkan ada yang telah didelisting dari

BEJ.

Penelitian ini hendak melihat faktor yang

menyebabkan perusahaan - perusahaan tersebut dapat

kembali survive. Estimasi probabilitas survive

perusahaan kesulitan keuangan dilakukan Kahl (2002)

dengan menelusuri data perusahaan saat terserang

kesulitan sampai beberapa tahun kemudian, ada yang

survive dan ada yang tetap kesulitan dengan regresi

probit. Sedangkan Parker et al. (2002) meneliti

kemungkinan hidup perusahaan kesulitan keuangan

dengan menelusuri data perusahaan dari saat survive

sampai kesulitan dengan cox proportional hazard

regression. Penelitian ini tidak mengadopsi metode

Parker et al. (2002) karena penelitian mereka

menggunakan data 8 tahun sebelum kesulitan

sehingga bila diaplikasikan pada penelitian ini harus

dipakai data tahun 1989 – 1997 yang tentu saja tidak

up to date diteliti sekarang. Karena itu diadopsi

metode Kahl (2002) dan variabelnya yang berupa

pulangan aset (return on assets), dan konversi

kewajiban menjadi ekuitas (creditor equity stake);

selain itu diadopsi variabel pergantian direktur utama

dari Parker et al. (2002); dan ditambah lagi dengan

variabel umur perusahaan. Umur perusahaan diteliti

Chancharat (2007) dalam meneliti probabilitas survive

perusahaan kesulitan keuangan. Tetapi, umur

perusahaan tersebut kurang signifikan dalam

menjelaskan probabilitas survive. Padahal umur

perusahaan termasuk dalam faktor-faktor yang

mempengaruhi kegagalan perusahaan selain ukuran,

HASIL

Estimasi probabilitas survive yang dilakukan

terhadap 30 perusahaan kesulitan keuangan dengan

tipe bankruptcy insolvency (Lampiran 1) dengan

pengamatan terakhir tahun 2005, menemukan bahwa

terdapat 16 perusahaan FD yang survive, sedangkan

14 perusahaan lainnya belum survive.

Mean dari variabel independen yang

digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Mean Indikator Keuangan, Karakteristik Tata

Kelola Perusahaan, dan Length Perusahaan FD

yang Survive dan yang belum Survive pada Masa

Kesulitan Keuangan

IndikatorKeuangan

Mean pada Perusahaan

Survive

Belum

Survive

x1

0,00

-0,04

x2

0,50

0,64

x3

28,75

25,07

x4

0,88

0,14

Jumlah observasi (n)

16

14

Variabel Independen

B

Exp(B)

Constant x1 x2 x3 x4

-5,174 (0,083) 73,113 (0,057) 2,759 (0,243) -0,046 (0,703) 10,277 (0,046)

0,006 5,66E+31 15,787 0,955 29056,689

n Hosmer and Lemeshow Nagelkerke R Square -2LL Percentage Correct

30 0,764 0,815 28,264 96,7

Angka dalam kurung menunjukkan signifikansi, tanda * menunjukkan signifikan pada alpha 0,1 Variabel dependen adalah variabel dummy status perusahaan yang bernilai 1 jika perusahaan kesulitan keuangan telah survive, 0 selainnya. Variabel independen adalah : x1 = Rata-rata dari : laba usaha / jumlah aset saat kesulitan keuangan dengan tipe bankruptcy insolvency sampai setahun sebelum survive. x2 = jumlah pergantian direktur selama masa kesulitan keuangan x3 = umur perusahaan x4 = creditor equity stake, 1 jika perusahaan melakukan creditor equity stake, 0 selainnya







Nilai Hosmer and Lemeshow goodness of fit

test statistics menunjukkan probabilitas signifikansi

0,764 - lebih besar dari 0,05 - menunjukkan model

dapat diterima karena cocok dengan data observasinya

dan dapat dipakai untuk analisis selanjutnya.

Nagelkerke R Square 0,815 menunjukkan bahwa

variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan

oleh variabilitas variabel independen adalah 81,5%.

Angka -2LL sebesar 28,264 menunjukkan model fit

karena penurunan tersebut lebih besar dari penurunan

df dengan alpha 10% sesuai tabel critical values of chi

square (x2), yaitu 7,78. Ketepatan klasifikasi

menunjukkan angka 96,7%.

Penelitian ini menunjukkan bahwa peluang

survive berkaitan dengan rata-rata dari rasio

pendapatan usaha terhadap jumlah aset dari saat

kesulitan keuangan dengan tipe bankruptcy insolvency

sampai setahun sebelum survive dan creditor equity

stake. Variabel pergantian direktur utama selama

kesulitan keuangan dan umur perusahaan tidak

berpengaruh untuk meningkatkan peluang survive.

PEMBAHASAN

Kinerja yang diukur dengan rata-rata dari

pendapatan usaha terhadap jumlah aset (x1) signifikan

(pada alpha 0,1) mempengaruhi peluang survive

perusahaan kesulitan. Dari nilai koefisiennya yang

positif dapat disimpulkan bahwa semakin baik kinerja

semasa kesulitan keuangan, semakin besar peluang

perusahaan untuk survive. Hal ini sesuai dengan

temuan Fachrudin (2007).

Odds ratio atau Exp (B) menunjukkan bahwa

cateris paribus, setiap kenaikan 1 unit x2 akan

meningkatkan peluang survive yang sangat besar. Hal

ini berarti probabilitas survive adalah 100% bila x2

meningkat 1 unit. Misalnya bila selama masa

kesulitan perusahaan dapat meningkatkan pendapatan

usaha sebanyak dua kali lipat, maka perusahaan

tersebut pasti akan survive. Hal ini agak susah

terwujud karena pada saat tidak kesulitan pun hal ini

jarang tercapai, apalagi saat kesulitan.

Pergantian direktur utama selama kesulitan

(x2) tidak signifikan mempengaruhi peluang survive

perusahaan kesulitan. Pergantian direktur utama agak

jarang dilakukan. Rata-rata x2 perusahaan survive

adalah 0,50 sedangkan pada perusahaan yang belum

survive adalah 0,64. Berarti selama masa kesulitan,

secara rata-rata jumlah pergantian direktur utama

tidak sampai 1 kali.

Hal ini tampak sesuai dengan teori succession

crisis yang mengatakan bahwa pergantian eksekutif

mengganggu kinerja organisasi karena menambah

ketidakpastian dan konflik, serta menurunkan

semangat anggota organisasi (Hambrick dan D’Aveni,

1988). Juga sesuai dengan Wruck (1990) bahwa

manajer yang sudah lama menjabat umumnya

memahami operasi perusahaan secara detail. Gibson

(2003) yang meneliti 1200 perusahaan dalam 8

emerging market menemukan dua hasil utama.

Pertama, CEO di perusahaan emerging market lebih

mungkin kehilangan pekerjaannya pada saat kinerja

perusahaan memburuk, ini menunjukkan tata kelola

perusahaan sudah efektif di emerging market. Kedua,

khusus untuk perusahaan dengan kepemilikan lokal

yang besar, tidak ada hubungan antara CEO turnover

dan kinerja perusahaan, ini menunjukkan tata kelola

perusahaan kelihatan tidak efektif. Bila alasan Gibson

ini diterapkan di sini maka berarti perusahaan

kesulitan keuangan yang memang memiliki kinerja

buruk dan tidak signifikan pergantian direktur

utamanya menunjukkan indikasi tata kelola yang tidak

efektif. Padahal, bila dicermati lebih jauh ternyata ada

pembatasan yang dibuat kreditur sehubungan dengan

perjanjian kredit. Perjanjian kredit umumnya

mensyaratkan perusahaan, antara lain, untuk terlebih

dahulu memperoleh persetujuan dari bank untuk

membagikan dividen, melakukan konsolidasi atau

penggabungan usaha, menjual atau menerbitkan

saham kepada pihak ketiga, menjual atau

menyewakan aktiva, mengubah anggaran dasar dan

susunan pengurus, direksi dan komisaris perusahaan.

Dari 30 perusahaan kesulitan yang diamati dalam

kurun waktu 1995 - 2005 ini diperoleh fakta bahwa 17

perusahaan (57%) mempunyai perjanjian kredit yang

mensyaratkan persetujuan dari pihak bank untuk

merubah struktur manajemennya. Hal ini sesuai

dengan teori bahwa dalam konteks insolvency,

governance ditujukan untuk memaksimalkan

keuntungan bagi kreditur. Masalahnya bukan sematamata

nilai likuidasi atau nilai going concern. Tapi

bagaimana perusahaan melanjutkan usaha selama

periode terbatas. Perusahaan berpeluang melakukan

negosiasi dengan kreditur. Pada periode interim ini,

governance perusahaan menjadi sangat penting,

karena kreditur memerlukan kepercayaan akan

kemampuan pengambil keputusan perusahaan untuk

merencanakan strategi going forward. Sebagai

tambahan, kreditur memerlukan jaminan mengenai

kesediaan dan kemampuan manajemen korporat untuk

melindungi aset yang tersisa untuk sementara waktu

sehingga tidak mengurangi kemampuan recovery

kreditur (Davis, 2003).

Umur (x3) perusahaan tidak signifikan

mempengaruhi peluang survive perusahaan kesulitan.

Text Box: Hal ini menunjukkan bahwa survive atau tidaknya suatu perusahaan tidak bergantung pada usianya.

Pengalaman mengelola perusahaan tidak signifikan

berhubungan dengan kinerja perusahaan selama

Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 1 - 9

6

survive (korelasi menunjukkan angka -0,118 dan tidak

signifikan). Temuan ini sejalan dengan Chancharat et

al. (2007).

Creditor equity stake berpeluang

meningkatkan kemungkinan survive perusahaan

kesulitan keuangan. Hal ini sesuai dengan Kahl

(2001) dan Fachrudin (2007). Menurut Kahl (2001),

pada prinsipnya ada dua cara bagi perusahaan untuk

menanggulangi kesulitan keuangan, yaitu

meningkatkan kinerja operasi atau melalui

pengurangan beban bunga (atau kombinasi keduanya).

Pengurangan beban bunga bahkan juga hutang

perusahaan karena ditukar dengan kepemilikan

terbukti mengeluarkan perusahaan dari kesulitan pada

penelitian ini.

Walaupun hasil penelitian menunjukkan

creditor equity stake berpeluang terhadap

kemungkinan survive, namun ada segelintir

perusahaan yang dapat survive tanpa equity stake.

Misalnya SOBI, dengan bantuan penasihat keuangan

dari Singapura dan Satuan Tugas Prakarsa Jakarta,

berhasil merestrukturisasi sehingga ada pengurangan

hutang pokok, transaksi forward dan derivatif. Laba

restrukturisasi berjumlah Rp.1.813.068.602.000.

Sedangkan IMAS mengalihkan hutangnya ke keluarga

Salim dan ditukar dengan obligasi konversi yang

kelak dapat ditukar jadi saham juga, serta menjual

kepemilikan sahamnya kepada pihak lain.

Sebaliknya, ada pula perusahaan kesulitan

keuangan yang walaupun sudah melakukan creditor

equity stake namun belum survive sampai akhir tahun

2005, yaitu SUDI dan SIPD. SUDI hanya

memperoleh sedikit saham dari creditor equity stake

yang dilakukan sehingga tidak memadai untuk

menjadikan ekuitas menjadi positif. SIPD melakukan

creditor equity stake sampai ekuitas menjadi positif

tahun 2001, namun sampai tahun 2005 pendapatan

bersih tetap negatif dan interest coverage ratio masih

di bawah satu karena beban usaha dan beban lain-lain

cukup besar.

KESIMPULAN

Survival secara positif dipengaruhi oleh

kinerja operasi. Satu-satunya faktor lain yang secara

sistematis meningkatkan peluang survive perusahaan

adalah kebersediaan kreditur untuk melakukan

konversi hutang menjadi ekuitas perusahaan. Hampir

semua konversi hutang menjadi ekuitas pada 53,33%

perusahaan kesulitan keuangan dilakukan oleh

kreditur asing.

Perusahaan kesulitan keuangan dapat survive

dengan suntikan modal kreditur asing. Artinya

sebahagian besar kepemilikan jatuh ke tangan asing.

Perusahaan kesulitan keuangan memang memerlukan

dana tambahan. Modal pemerintah tidak mungkin

diharapkan karena pemerintah masih harus

membenahi masalah-masalah lain seperti kemiskinan,

pendidikan, dan pemberantasan korupsi.

SARAN

Kesulitan keuangan perusahaan yang

diobservasi ini disebabkan oleh membengkaknya

pinjaman dalam mata uang asing akibat krisis 1997.

Sebaiknya perusahaan melakukan lindung nilai untuk

hutang dalam mata uang asing.

Perusahaan kesulitan keuangan memerlukan

mediasi untuk menegosiasikan hutangnya dengan

pihak kreditur. Sebaiknya dalam proses negosiasi

dihindarkan kemungkinan bahwa hutang tersebut

berpindah ke kreditur asing dan atau hutang tersebut

dikonversi menjadi ekuitas pihak asing. Pemerintah,

melalui lembaga yang ditunjuk, perlu menjadi mediasi

negosiasi yang handal.

DAFTAR PUSTAKA

Altman, Edward I. 1983. Corporation Financial

Distress – A Complete Guide to Predicting,

Avoiding, and Dealing with Bankruptcy. John

Wiley & Sons. New York. p. 1-7

Anonym a. Industry – Relative Ratios Revisited: The

Case of Financial Distress.

www.fma.org/neworleans/Papers. February,

20, 2006.

Asterbo, Thomas and Joachim K. Winter, 2002.

More than a Dummy: The Probability of

Failure, Survival and Acquisition of Firms in

Financial Distress.

Brigham, Eugene G and Louis C. Gapenski. 1997.

Financial Management – Theory and Practice.

The Dryden Press. Eight Edition. p. 1034 –

1067.

Brigham, Eugene F and Phillip R. Daves. 2003.

Intermediate Financial Management. Eight

Edition. Thomson. South-Western. p.837-

859.

Chancharat, Nongnit., et al. 2007. Firm in Financial

Distress, a Survival Model Analysis. Paper.

20th bAustralasian Finance & Banking

Conference. August 20, 2007.

Khaira Amalia Fachrudin Faktor-Faktor yang Meningkatkan Peluang Survive

7

Cross, Lisa. 2003. Tools for a Company Turnaround.

Graphic Arts Monthly. August. p. 36-38.

Deng, Xiaolan and Zongjun Wang, 2006. Ownership

Structure and Financial Distress: Evidence

from Public Listed Companies in China.

International Journal of Management. 23(3):

486-502

Elloumi, Fathi and Jean-Pierre Gueyie, 2001.

Financial Distress and Corporate Governance:

an Empirical Analysis. Corporate

Governance. Bradford: 1 (1): 15 - 23.

Fachrudin, Khaira Amalia. 2007. Analisis Kesulitan

Keuangan Perusahaan – Studi pada

Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di

Bursa Efek Jakarta Tahun 1995-2005.

Disertasi. Program Pascasarjana Fakultas

Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang.

Garson, G. David. 2005. Binary Logistic Regression.

PA 765 Statnotes: An Online Textbook.

www.David_Garson@ncsu.edu.

Guner, Gursoy, 2004. Changing Corporate

Ownership in the Turkish Market. Journal of

Transnational Management Development.

10(2): 33 Abstract

Kahl, Matthias, 2002. Economic Distress, Financial

Distress, and Dynamic Liquidation. Journal

of Finance. LVII (1): 135 – 145.

Kahl, Matthias, 2001. Financial Distress as a

Selection Mechanism: Evidence from the

United States. Paper.

Laitinen, Erkki K, 2005. Survival Analysis and

Financial Distress Prediction: Finnish

Evidence. Review of Accounting & Finance

4(4): 76-91.

NetTel Africa. Network for Capacity Building

and Knowledge Exchange in ICT Policy,

Regulation, and Application. 2004.

http://www.cbdd.wsu.edu/kewlcontent/

cdoutput/TR505r/page40.htm. 2 Januari

2002.

Ohlson, James A, 1980. Financial Ratios and the

Probabilistic Prediction of Bankruptcy.

Journal of Accounting Research. 18(1): 109-

131

Parker, Susan, Gary F. Peters, dan Howard F.

Turetsky, 2002. Corporate Governance and

Corporate Failure: A Survival Analysis.

Corporate Governance. Bradford: 2 (2): 4-9.

Parker, Susan, Gary F. Peters, dan Howard F.

Turetsky, 2005. Corporate Governance

Factors and Auditor Going Concern

Assessments: 4 (3): 5-30.

Pearce and Robinson. 2003. Management Strategic.

Eight Edition. McGraw-Hill Education. New

York. p. 155 – 182.

Sembel, Roy dan Sandra Sembel. 2003. Keluar dari

Masa Sulit: Strategi Menyelamatkan

Perusahaan Sakit. Sinar Harapan

Susanto, A.B; 1999. Survival Management:

Implementasi Quantum Leadership dalam

manajemen krisis. Usahawan no.09 thn

xxviii. Sept 09.

Turetsky, Howard F. and Ruth Ann McEwen, 2001.

An Empirical Investigation of Firm

Longevity: a Model of the Ex Ante Predictors

of Financial Distress. Review of Quantitative

Finance and Accounting. 16. p.323-323.

dari jurnal diatas kita bisa melihat bahwa metode yang digunakan adalah studi pustaka dalam menyusun jurnal ini dimana diambil 30 perusahaan dari BEJ sebagai sampel penelitian untuk masalah pembahasan krisis keuangan